Hikayat Hang Tuah : Pahlawan di Dua Negara
oleh : Nabila Safira*
Jika menyebut nama Hang Tuah, semua orang pasti setuju bahwa nama itu adalah nama pahlawan, walaupun mungkin sebagian besar orang tidak tahu tentang sejarah lengkapnya. Bagi penikmat lagu Melayu, nama Hang Tuah mungkin terdengar familiar, karena penyanyi Iyeth Bustami pernah mempopulerkan lagu dengan judul itu dengan lirik yang khas ‘Esa hilang, dua terbilang’. Sedang bagi pecinta olahraga, nama Hang Tuah mungkin lebih familiar dengan klub basket asal Palembang, Amartha Hangtuah. Beberapa teman pernah saya tanya ‘tau Hang Tuah nggak?’ kebanyakan dari mereka menjawab ‘tau, nama pahlawan, sekarang jadi nama jalan di Kebayoran Baru’ tapi ketika ditanya asal muasalnya, hampir semuanya tidak tahu. Yang lebih uniknya lagi adalah, kalau kita jalan jalan di kota Kuala Lumpur, di dekat Stadion Merdeka ada pula jalan Hang Tuah, bahkan stasiun dan mall yang ada di jalan itu juga diberi nama serupa. Sebenarnya siapa Hang Tuah sampai bisa menjadi pahlawan dan namanya diabadikan bahkan di dua negara yang berbeda?
Ceritanya dimulai 5 abad yang lalu, sekitar tahun 1444, tepatnya pada masa pemerintahan Mansur Shah di Malaka. Seorang anak dari pasangan Hang Mahmud dan Dang Merdu Wati lahir di Sungai Duyong, Malaka (Sekarang Malaysia) dan diberi nama Hang Tuah. Hang Tuah kecil bekerja sebagai penebang di toko milik orangtuanya. Beranjak dewasa, Hang Tuah bersama keempat temannya, Hang Kasturi, Hang Jebat, Hang Lekir dan Hang Lekiu mulai belajar ilmu silat kepada guru yang bernama Adi Putera. Dengan bimbingannya, Hang Tuah bersama 4 temannya itu bukan hanya pandai dalam ilmu bela diri, tetapi juga dalam hal meditasi. Dalam riwayatnya, karir Hang Tuah dimulai ketika suatu hari pada masa kepemimpinan Sultan Alauddin Riayat Shah, terjadi perompakan di sebuah desa. Perompakan tersebut menarik perhatian Tun Perak, yang saat itu menjadi pejabat Bendahara (setara perdana mentri). Tun Perak bersama para pengawalnya berusaha menghentikan perompakan tersebut, namun ternyata para perompak jauh lebih kuat dari yang dibayangkan. Akhirnya Tun Perak dan ajudan ajudannya malah dijadikan sasaran oleh para perompak tersebut. Saat mereka berusaha melarikan diri, muncullah Hang Tuah bersama keempat kawannya yang pemberani, melawan dan berhasil menang atas perompak. Dari kejadian itu, Tun Perak yang terkesan dengan keberanian Hang Tuah dan teman temannya, mengajak mereka untuk bergabung dengan pasukan istana, dan dididik langsung oleh Tun Perak. Sejak saat itu pula, Hang Tuah dan teman temannya menjadi sejarah yang tak terpisahkan dari Kerajaan Malaka.
Kisah Hang Tuah sangat menarik untuk dibahas, karena berisikan tentang pengalaman karir salah satu laksamana terbesar nusantara pada zamannya. Pada zaman itu, kerajaan terbesar di Nusantara masih kerajaan Majapahit. Hang Tuah pun dalam hikayatnya pernah bergesekan dengan kerajaan tersebut. DImana salah satu pejuang Majapahit yang bernama Taming Sari pernah mengajak Hang Tuah untuk bertarung satu lawan satu. Hasilnya Hang Tuah menang dan diberikan hadiah keris oleh raja Majapahit saat itu dan diberi nama Keris Taming Sari, sesuai dengan nama orang yang baru saja dikalahkannya. Karir Hang Tuah tentu seperti orang orang kebanyakan, tidak mulus. Banyak tantangan tantangan yang harus dilalui Hang Tuah sampai menjadi laksamana hebat. Pada masa masa kejayaannya, Hang Tuah pernah diisukan berhubungan amoral dengan salah satu selir kerajaan. Mendengar berita itu, Raja memberi titah kepada bendahara untuk segera membunuh Hang Tuah. Bendahara kerajaan yang faham betul bagaimana Hang Tuah, tahu bahwa Hang Tuah tidak bersalah, alih alih membunuhnya, bendahara malah membiarkan Hang Tuah kabur dan mengumpat di tempat yang jauh dari kerajaan. Sebagai pengganti posisi Hang Tuah di kerajaan, raja menunjuk Hang Jebat, sebagai orang yang pernah menimba ilmu bersama Hang Tuah dalam waktu yang cukup lama, bahkan saat itu diwariskan pula Keris Taming Sari, senjata andalan Hang Tuah. Beberapa riwayat mengatakan, saat ditunjuk, Hang Jebat tidak tahu dimana dan mengapa Hang Tuah diturunkan dari posisinya. Setelah ia tahu, ia kemudian marah besar kepada raja dan bendahara karena telah membunuh teman masa kecilnya. Bentuk kemarahannya ia tunjukkan dengan membuat huru hara di kerajaan. Banyak orang yang telah mencoba menghentikannya, tetapi karena Hang Jebat sangat berbakat dan bahkan kekuatannya tidak jauh berbeda dari Hang Tuah, tidak ada yang bisa menghentikannya. Saat itulah kemudian bendahara kerajaan berkata jujur bahwa Hang Tuah tidak mati, ia hanya bersembunyi di suatu tempat yang jauh. Akhirnya raja memanggil kembali Hang Tuah dan bahkan memberikannnya hak untuk membunuh Hang Jebat karena dianggap telah membuat kekacauan di seantero kerajaan.
Setelah bertarung ketat selama tujuh hari, Hang Tuah akhirnya bisa mengalahkan Hang Jebat sampai sahabatnya itu terluka parah. Walaupun saat itu Hang Jebat terluka parah, namun ia masih sempat marah dan mengamuk di tengah kota yang bahkan menyebabkan banyak sekali warga yang meninggal. Sampai pada akhinya Hang Jebat kembali ke rumah Hang Tuah dan meninggal dalam pelukan sahabatnya itu. Setelah itu dikabarkan Hang Tuah mengalami tekanan yang cukup berat karena baru saja mengetahui, sahabat yang telah membelanya malah ia bunuh dengan tangannya sendiri, akhirnya Hang Tuah memutuskan untuk melepas jabatannya di kerajaan dan kemudian menghilang. Masih banyak lagi kisah kisah mengenai Hang Tuah, terutama mengenai karirnya di dunia kemaritiman. Masa itu adalah masa masa penjajahan Portugis terhadap Asia Tenggara, dimana bangsa Portugis tentunya masuk ke Nusantara lewat jalur laut. Pada suatu riwayat diceritakan bahwa bangsa Portugis yang berlayar dari Filipina mencoba masuk ke daerah Malaka dan Palembang, tetapi sebelum hal itu terjadi, mereka telah dihadang oleh pasukan laut Kerajaan Malaka yang dipimpin oleh Hang Tuah. Setelah terjadi peperangan yang cukup alot, akhirnya pasukan Hang Tuah menang, sedangkan pasukan Portugis yang kalah kembali ke posnya di Filipina. Pimpinan pasukan Portugis di Filipina saat itu marah besar ketika mendengar pasukannya berhasil dikalahkan oleh pasukan laut dari kerajaan Malaka, dan menaruh dendam terhadap Hang Tuah, sebagai pimpinan pasukan tersebut. Walaupun pada akhirnya, Portugis tidak pernah benar benar bisa menembus pertahanan Malaka.
Dibalik semua kisahnya yang mengagumkan itu, sosok Hang Tuah sendiri masih menjadi misteri hingga saat ini. Walaupun makamnya secara fisik ada, tepatnya di jalan Hang Jebat 120 Tanjung Kling Malaka, Malaysia. Disitu berdiri kokoh makam dengan relief bertuliskan ‘Tak Akan Melayu Hilang di Bumi’ sebuah kutipan nasionalisme dari seorang pahlawan besar di dua negara bernama Hang Tuah. Jejak terakhir Hang Tuah ditemukan di Temasik, Singapura. Ada keluarga yang mengaku sebagai keturunan ke 12 dari Hang Tuah, mereka membawa sepasang gelang yang dulu konon pernah dipakai oleh Hang Tuah, dan juga tulisan manuskrip tua. Setelah itu, tidak ada kabar lagi mengenai keturunannya, atau bahkan dari mana Hang Tuah berasal. Selama berabad abad, nama Hang Tuah digaung gaungkan oleh masyarakat Melayu, bahkan diabadikan baik sebagai nama jalan, nama tempat, atau bahkan nama universitas. Namun belakangan muncul kontoversi, dimana para peneliti dan sejarawan mulai meneliti keunikan dari nama Hang Tuah itu sendiri. Nama berawalan Hang, seperti Hang Tuah dan keempat sahabatnya, bukanlah nama khas masyarakat Melayu, lebih kepada nama serapan dari Tionghoa. Bahkan nama kedua orang tuanya, Hang Mahmud dan Dang Merdu Wati, juga masih terdengar seperti nama nama khas masyarakat Tionghoa yang diserap kedalam budaya Melayu. Hal ini memperkuat dugaan bahwa Hang Tuah sama seperti Laksamana Cheng Ho, yang beragama Muslim tetapi bukan asli dari Nusantara. Ada kemungkinan bahwa Hang Tuah bersama keempat temannya adalah tentara atau mungkin keturunan tentara yang diutus dari negri China untuk membantu kerajaan Malaka. Hal ini tentu memunculkan perdebatan antara sejarawan dan para peneliti. Peneliti mengklaim bahwa mereka telah meneliti DNA yang diambil dari penggalian makam Hang Tuah, hasilnya benar, Laksamana Hang Tuah merupakan keturunan Tionghoa. Namun lain halnya dengan sejarawan yang menganggap bahwa selama ini tokoh Hang Tuah merupakan tokoh pahlawan yang fiktif dan tidak pernah benar benar hadir. Argumen ini disertai dengan bukti bahwa nama Hang Tuah pertama kali ditemukan pada manuskrip Hikayat Acheh yang baru ditulis abad ke 17.
Namun terlepas dari semua itu, ada satu nilai positif yang mungkin lupa untuk kita sadari. Bahwa nama Hang Tuah sebagai nama pahlawan besar, sangat sering diabadikan untuk nama jalan, nama tempat, ataupun nama institusi di 2 atau bahkan 3 negara yang berbeda : Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Dan hal ini bahkan tidak pernah memunculkan situasi konflik yang panas dari negara negara tersebut. Ini mengingatkan kita bahwa dahulunya, 3 bangsa ini adalah bangsa yang satu, yang kemudian terpecah karena kepentingan bangsa lain, dan sampai sekarang masih terpecah. Mungkin satu nama Hang Tuah saja belum cukup untuk menyatukan mereka kembali, tapi mungkin akan terlahir banyak ‘Hang Tuah baru’ yang bisa menyatukan bangsa ini, dan membawa Nusantara kembali kepada masa kejayaannya. Semoga.
*penulis adalah Mahasiswi UIN Jakarta tahun 2018 program studi Ilmu Hadis
Komentar
Posting Komentar